“Pendidikan adalah investasi jangka panjang yang memberikan keuntungan selamanya.” (Imam Syafi’i).
Peringatan Hardiknas 2 Mei memang sudah berlalu kemarin, namun ini menjadi refleksi yang penulis utarakan.Pengelolaan pendidikan di Indonesia tidak boleh sepenuhnya berkiblat pada negara yang sudah maju. Wajar saja jika kita masih mencoba mengadopsi praktik baik dari berbagai negara dan coba dimodifikasi di negara kita. Namun, memang tidak dapat kita pungkiri kecemasan para pendidik dan masyarakat terutama orang tua siswa, asal ganti menteri, ganti kurikulum, ganti buku teks.
Guru hanya belajar mengelola kelas dengan pendekatan yang berbeda, bukan memantapkan diri pada tujuan yang akan dicapai. Sayangnya, memang kita masih seperti menggaruk pada yang gatal. Kita berharap pendidikan kita punya renstra jangka panjang agar siapapun yang memberi legasi dapat diteruskan dan siapapun dapat mengembangkan kemajuan dan kebermanfaatan pada jalan tujuan jangka panjang. Benjamin Bloom sebenarnya mengacu pada Ki Hajar Dewantara, terutama pada konsep afektif. Maka tidak mungkin urusan pendidikan karakter kita mengacu ke Finlandia.
Kita sendiri yang lebih paham karakteristik bangsa kita, bahkan sifatnya sangat lokal. Misalnya pada Pendidikan Nasional, Kemendikdasmen meluncurkan tujuh kebiasaan anak hebat yang meliputi (1) Bangun Pagi, (2) Beribadah, (3) Berolahraga, (4) Makan Sehat dan Bergizi, (5) Gemar Belajar, (6) Bermasyarakat, dan (7) Tidur Cepat.
Meski kelihatan sepele, segitu remehnya Kemendikdasmen mengurus siswa, namun bukan urusan mudah menerapkan “kebiasaan.” Orang tua saja membiasakan bangun pagi dan beribadah dengan anak di rumah bukan perkara gampang. Namun ketika jadi kebiasaan, maka lahirlah kekuatan. Itulah investasi jangka panjang. Di sekolah sudah aman-aman tanpa kekerasan. Sementara di luar sekolah, kerap diperoleh kasus cyberbullying, geng antar teman, termasuk judol, pornografi, narkoba dan sebagainya. Spirit dan suasana pendidikan harus terpatri di setiap saat dan jangka panjang.
Lagi-lagi wajar kita khawatir dengan pendidikan yang belum memiliki roadmap jangka panjang. Kita apresiasi Kemendikdasmen yang melalui Konsolidasi Nasional akhir April lalu mengeluarkan rekomendasi pada 12 program unggulan.
Menyambut Hari Pendidikan Nasional tahun 2025, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) terus berupaya mencari formulasi yang sesuai dalam pengelolaan pendidikan. Beberapa isu diangkat dan menjadi bahasan dalam sebuah pertemuan kolosal mengundang stakeholder pendidikan daerah dan organisasi profesi bertajuk Konsolidasi Nasional Pendidikan Dasar dan Menengah Tahun 2025, April lalu.
Tidak kurang dari 12 program prioritas dibahas secara teknis sehingga menjadi rencana jangka menengah pengelolaan pendidikan nasional. Pertemuan ini tentu saja patut diapresiasi sebagai langkah Kemendikdasmen yang selama ini tidak kurang mengundang kontroversi dalam berbagai kesempatan. Kemendikdasmen sejak berubah nomenklatur berpisah dari dua kementerian lain setelah awalnya dalam satu atap Kemendikbud seperti tidak punya konsep jelas untuk bergerak.
Berbagai kontroversi seolah mencuat ke publik seolah hanya berganti kulit saja. Tidak kurang membingungkan di kalangan pendidik tentang kekhawatiran perubahan kurikulum.
Terlebih Mendikdasmen sendiri mengeluarkan statement yang belum tertulis dan terpola dengan baik, misalnya kurikulum deep learning. Belum lagi program-program di masa Nadiem Makarim seolah tabu untuk dilanjutkan. Episode Merdeka Belajar sudah terbungkus menjadi kenangan. Program andalan di periode lalu seolah tak berbekas. Program Sekolah Penggerak yang hanya menunggu waktu selesai tidak kurang satu tahun lagi, pupus dicabut.
Program Guru Penggerak yang terasa membawa perubahan dalam pembelajaran termasuk dalam kepemimpinan juga dihentikan. Sayangnya belum ada program pengganti, meski guru penggerak masih menjadi salah satu syarat sebagai Calon Kepala Satuan Pendidikan. Pengelolaan pendidikan dirasa oleh banyak pendidik masih sebatas omon-omon, belum jelas konsep dan arah, sebatas permukaan, ganti judul saja seperti Platform Merdeka Mengajar menjadi Ruang GTK.
Bahkan, sebagian menganggap ada tendensi menghilangkan program yang seharusnya dapat dilanjutkan karena kebermanfaatannya seperti Sekolah Penggerak dan Guru Penggerak. Maka, wajar pendidik cemas, ganti menteri ganti kurikulum, ganti kebijakan seolah tanpa legasi keberlanjutan dari kebaikan yang lama. Persis seperti menggaruk gatal.
Penguatan Kurikulum
Konsep penguatan kurikulum menjadi obrolan pertama yang disampaikan Mendikdasmen Abdul Mu’ti saat baru menjabat. Beliau mencetuskan Deep Learning atau pembelajaran mendalam dalam kurikulum.
Sayangnya, hampir seluruh pendidik membaca hal ini sebagai bentuk perubahan kurikulum di Indonesia setelah sebelumnya baru saja keberadaan Kurikulum Merdeka sebagai Kurikulum Nasional diluncurkan pada Maret 2024. Maka pasca statement mendikdasmen, seantero guru terutama konten kreator menggabungkan lahirnya kurikulum baru bernama Kurikulum Deep Learning.
Sungguh Deep Learning bukanlah nama sebuah kurikulum. Deep Learning atau sekarang dijadikan diksi oleh Kemendikdasmen sebagai Pembelajaran Mendalam, merupakan sebuah pendekatan pembelajaran yang dapat dijadikan pendamping penerapan Kurikulum Merdeka.
Jadi, jelas sebenarnya, kurikulum tidak berganti, namun penekanan dalam pelaksanaan pembelajaran menerapkan skematik pembelajaran mendalam. Tentu saja ini bukan hal yang baru. Konsep Kurikulum Merdeka sendiri memberikan banyak Capaian Pembelajaran (CP) namun tidak mewajibkan menuntaskan semua CP dalam satu fase. Guru dapat memilih CP yang sesuai dengan kemampuan dan karakteristik siswa, lalu mengeksplorasi secara mendalam dan esensial hingga tuntas.
Masa Nadiem Makarim disebut sebagai mastery learning. Sementara saat ini disebut pembelajaran mendalam dan tidak memberi pilihan CP yang banyak, sehingga pendidik tidak salah persepsi dan menerapkan secara mendalam dengan pola mindful learning, meaningful learning dan joyful learning.
Belakangan isu ini semakin memicu diskusi bahkan debat di kalangan pendidik. Tidak kurang konten kreator mengambil bagian dalam polemik ini. Isu liar berkembang pesat di antara yang setuju dan tidak penjurusan IPA, IPS serta Bahasa diadakan kembali pada satuan pendidikan terutama di jenjang SMA.
Bagi yang setuju tentu saja keberadaan jurusan membuat rombongan belajar menjadi lebih berkembang. Selain berdampak pada lebih fokus memberikan materi karena sudah tersegmentasi juga membuat pendidik lebih banyak dibutuhkan sehingga terakomodir jumlah jam sertifikasi untuk pembayaran tunjangan profesi.
Sementara bagi yang menolak, menganggap justeru tanpa jurusan di kurikulum merdeka akan membuat siswa lebih leluasa belajar pada pilihan mata pelajarannya sendiri, tanpa perlu terikat dengan sesuatu yang tidak disenangi.
Adanya jurusan di SMA malah membuat stigmasi IPA anak yang bagus, baik, shalih dan sebagainya. Berbalikan dengan stigmasi di IPS dan Bahasa. Sebenarnya tanpa disadari oleh banyak orang, pada Kurikulum Merdeka sendiri juga masih ada jurusan meski relatif semu karena diberi nama Mata Pelajaran Pilihan. Siswa kelas XI dan XII atau Fase F belajar dengan 4 sampai 5 Mapel Pilihan yang dipilih oleh siswa sesuai minat dan potensi siswa serta mengarahkannya pada pilihan masa depannya sendiri ke perguruan tinggi.
Mapel Pilihan diampu oleh guru secara penuh dalam kerangka intrakurikuler tanpa terpotong oleh P5. Mapel pilihan diharapkan mampu mengarahkan siswa secara mendalam pada konten materi yang dipilih. Maka jumlah jam Mapel Pilihan sebanyak 5 jam per minggu, kecuali Prakarya.
Skema ini bukan hanya menguntungkan dalam hal pembagian jam bagi ketersediaan guru. Selain fleksibel dalam pembagian jam, juga berguna dalam intensitas konten mata pelajaran, lebih “mastery.” Termasuk juga mudah mengatur guru yang memperoleh tunjangan profesi yang diharapkan semua guru sertifikasi bisa dapat tunjangan. Bukankah itu menciptakan kenyamanan kerja di satuan pendidikan saat guru sejahtera.
Dalam konteks kembalinya jurusan di SMA, ternyata bukan dalam bentuk sebagaimana dipahami selama ini. Penerapan Kurikulum Merdeka yang tetap dilanjutkan membuat pola jurusan masih tetap seperti yang berlangsung selama ini. Hanya saja terjadi penyempurnaan terutama pada pola asesmen yang diperuntukkan bagi siswa yang akan melanjutkan ke perguruan tinggi.
Tes Kompetensi Akademik
Lubang menganga pola Kurikulum Merdeka pada Seleksi Nasional Berbasis Tes (SNBT) Perguruan Tinggi Negeri akan diperbaiki pada masa Mendikdasmen Abdul Mu’ti. SNBT selama ini hanya menguji level Literasi dan Numerasi secara mendalam, namun tidak menguji konten materi dari Mapel Pilihan secara khusus.
Akibatnya, pada SNBT bisa saja seorang siswa lulus kedokteran namun tidak kuat mapel Kimia atau Biologi. Lulus Teknik tapi tidak kuat Fisika atau Matematika. Karena itulah, lahir gagasan Tes Kompetensi Akademik (TKA) bagi Kelas XI dilaksanakan untuk siswa melanjutkan ke perguruan tinggi. Pada TKA ini, siswa mengikuti ujian Mapel Pilihan Kurikulum Merdeka untuk masuk ke Perguruan Tinggi Negeri (PTN)
Sehingga selain literasi dan numerasi, kemampuan akademik siswa pada pilihannya tergambar jelas. Meski demikian, kabarnya TKA boleh saja tidak diikuti oleh seluruh siswa kelas XII. Meski tidak berbentuk sampel sebagaimana ANBK yang hanya diikuti 45 siswa kelas XI. Dengan demikian, TKA tidak menggantikan asesmen nasional, namun menggantikan pola seleksi perguruan tinggi jalur SNBT. Asesmen Nasional tetap diadakan bagi kelas XI pada Agustus 2025. Berbagai isu pendidikan lainnya sedang menjadi sorotan bagi pendidik. Tentu kita berharap pemulihan pendidikan tidak instan ibarat menggaruk gatal.
“Selamat Hardiknas 2025, Partisipasi Semesta Mewujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua.” (*)