Sop Tuna Sajian Khas “ Lambung Kuliner “ Yang Layak Dinikmati

Banda Aceh – Siang itu, Kamis, 14 Oktober 2021 langit di atas Kota Banda Aceh cerah. Matahari panas membakar bumi, menyengat di kulit.

“ Gimana, kita makan disini, ada menu sop tuna”, kata sahabat saya Tarmizi yang tiba-tiba menghentikan laju motornya di depan sebuah café. Saya setuju dan kami mengarahkan kenderaan ke tempat parkir dan masuk ke café, memilih duduk di kursi yang di tengah.

Café ini namanya “Lambung Kuliner”. Letaknya dekat dengan pelabuhan Laut Ulelhee. Menyajikan banyak pilihan makanan dan minuman segar sesuai selera.

“Sop tuna sama nasi plus minuman hangat ya”, kata Tarmizi kepada Fadil, pelayan café yang menghampiri menanyai pesanan.

Seraya menunggu makanan pesanan, kami pun hanya mengobrol ringan tentang kegiatan jurnalistik. Maklum, sama-sama berprofesi wartawan.

Konsumen

Sahabat Tarmizi Alhagu, mantan wartawan Pos Kota Jakarta ini, kini Pimpinan Umum dan Pimpinan Redaksi Harianmoslem.net membuka rahasia bagaimana teknis menulis fearure yang baik dan enak dibaca, saya pun serius mendengarkan trik-trik yang dia uraikan.

Pesanan sedikit agak lama,, karena ada tamu yang duduk di tiga meja yang lebih awal memesan makanan.

Namun saat nasi dan sop tuna tiba di meja, kami tak menunggu aba-aba, tak sabar ingin langsung menikmati sajian makanan ini yang memang sangat nikmat, apalagi perut sudah terasa lapar.

“ Lahap sekali saya lihat sahabat saya, amat lincah dengan sendok mengaduk-aduk nasi dengan sop tuna, lalu mengofornya ke mulut ”. beberapa saat, kami pun menyelesaikan tugas makan siang dan duduk santai menikmati hembusan semilir angin segar dari arah laut samudra Hindia.

Apa saja menu khas di café ini, tanya media ini kepada pelayan café disela- sela kesibukannya,

“ Menu khas kita masakan tuna dengan beberapa jenis masakan, ada sop tuna, tuna bakar, tumis tuna, juga asam tuna dan Tomyam, juga ada seafood, cumi dan udang. Selain itu juga ada minuman jus dengan banyak pilihan ”, kata Fadil (25), anak muda asal Sampoinet ini.

Diakui Fadil, café Lambung Kuliner yang dikelola Pak Jubir, asal Lamteuba, Aceh Besar ini, kini mempekerjakan lima orang karyawan.

“Ada lima orang yang kerja disini, dua tukang masak, dua di bagian depan dan satu di meja kasir”, katanya.

Sedangkan omset penjualan, diakuinya menurun 50 persen dimasa wabah pandemi covid 19. “ Boleh dikatakan pengunjung berkurang setengah semasa covid ini. Kalau sekarang, sehari laku Rp. 2 sampai Rp. 3 juta “, katanya.

Alhamdulillah yang tetap datang selain pelanggan ada juga pesanan yang diantar sama angkutan Gojek, dan sesekali ada tamu dari luar kota, seperti dari Meulaboh, ada juga yang bawa rombongan ”, tambah Fadil.

Harga makan semua jenis sangat terjangkau, misalnya satu mangkok sop tuna tambah nasi hanya Rp.25 ribu. Jadi tidak terlalu menguras isi kantonglah begitu.

Bagi anda yang baru datang ke kota Banda Aceh tak salahnya mencoba mencicipi makanan “Tuna bakar atau sop tuna” yang aroma dan rasanya berbeda dengan di tempat lain.

Mengunjungi “Lambung Kuliner” di Ulelhee ternyata tidak saja anda menikmati sajian nikmat menu kesukaan, tapi juga dapat menikmati pemandangan alam sekitarnya dari cafe ini karena tidak ditutupi dinding, pemadangan lepas ke semua arah.

Jika melempar pandang ke arah barat, anda dapat melihar kapal-kapal ikan berjejer milik para nelayan yang ditambatkan sepanjang Kuala Ulelhee saat tidak melaut. Di kejauhan, juga akan tampak menara Mesjid Ulelhee, satu-satunya bangunan rumah ibadah ummat Islam yang tetap berdiri kokoh saat terjangan dahsyat tsunami melanda Aceh dan Nias 26 Desember tahun 2004.

Menjadi bukti nyata, keajaiban kebesaran Allah. Sementara semua bangunan di kawasan padat penduduk ini rata dengan tanah, puluhan ribu warga setempat jadi suhadak tsunami.

Sedangkan arah utara hanya terpaut sekitar 50 meter terdapat hutan kota dengan pepohonan rindang, menyejukkan. Di dalam taman hutan kota ini dilarang menembak burung liar, ada banyak benda cagar budaya berupa makam-makam para raja-raja masa berabad –abad lampau. Semua situs-situs ini tetap dalam pengawasan pemerintah kota Banda Aceh dan kantor Suaka Purbakala. Menjadi asset wisata relegius. Tapi sayangnya seperti belum terurus dengan baik, bisa jadi kendala anggaran menjadi salah satu alasan. Allahualam. ( Bung Udin)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *