Oleh Kasmanudin
Dunia jurnalistik (kewartawan) memang berkembang pesat bak laju roket. Pasca, terbuka kran kebebasan pers sejak lahirnya UU Pokok Pers Nomor 40 Tahun 1999.
Tak ayal dengan kebebasan pers ini, seiring perkembangan teknologi informasi, media cetak, elektronik dan media online tumbuh kembang bagai cendawan di musim hujan.
Media cetak perlahan disaingi media elektronik dan online sudah ribuan, bahan puluhan ribu tumbuh di berbagai pelosok negeri sampai ke kota Kabupaten, sudah ada media online.
Menjamurnya media massa, memberi peluang kerja bagi profesi wartawan. Banyak media membutuhkan tenaga wartawan. Apalagi juga menjadi wartawan itu gampang, meski kerja wartawan bukanlah pekerjaan gampangan.
Saya katakan gampang menjadi wartawan, karena proses menjadi wartwan itu mudah, tidak perlu sekolah khusus seperti jadi dokter atau jadi hakim maupun pengacara.
Jadi wartawan, asalkan sudah bisa menulis berita dan punya wawasan luas, dan tulisannya dimengerti pembaca, memahami kode etik jurnalistik, punya moral dan etika yang baik, sudah bisa jadi wartawan. Tidak harus ada ijazah sarjana publisistik terlebih dahulu.
Dan menjalankan profesi wartawan mengasikkan, bisa berremu siapa saja dari tukang sirih sampai pejabat tinggi. Meski begitu, menjalani profesi wartawan tidak gampang, penuh tantangan, diperlukan komitmen cinta pada profersinya.
Menjadi wartawan tidak bisa kaya, namun cukup membiayai hidupnya dan bisa menikmati kepuasan hidup dengan tulisannya.
Profesi ini dianggap sebagian orang sebagai pekerjaan mulia. Karena wartawan disebut ratu dunia, sebagai agen pembaharuan, memberikan informasi, mendidik, menghibur, menjadi kontrol sosial dari tulisan sang wartawan.
Meski terkadang ada juga yang sinis sampai enggan bermenantukan wartawan karena tidak punya banyak uang.
Yang jelas suka atau tidak, wartawan menjadi mata dan telinga rakyat. Menjembatani komunikasi antara masyarakat dengan pemerintah.
Salah seorang dari ratusan wartawan di kota saya tinggal yaitu kota Banda Aceh sebagai pusat pemerintahan provinsi Aceh, namanya Tarmizi Alhagu.
Tarmizi Alhagu mengawali profesinya sebagai wartawan SKM Peristiwa di kota Banda Aceh tahun 1991, saat itu juga sedang menyelesaikan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala di Darussalam, jantung hati rakyat Aceh.
Naluri kewartawanan Tarmizi terasa tak terpuaskan hanya di koran mingguan Peristiwa.. Berbekal ijazah Sarjana Hukum yang sudah digenggamnya, Ia pun hijrah ke kota Jakarta menjadi wartawan Harian Terbit dan selanjutnya pindah ke Harian Pos Kota di masa Presiden SBY memimpin Indonesia.
Ia pun melumpur sebagai wartawan kota Jakarta. Mendapat tugas meliput berbagai peristiwa, mulai unjukrasa, kriminal, dan lainnya, Semua dilakoninya penuh semangat.
Tiada hari tanpa berita. Pokoknya, harus ada berita di tengah kesibukan kota,.Dibawah tekanan deadline terbit koran harian, berpacu dengan kecepatan waktu. Tapi semua tantangan itu dijalani Tarmizi dengan gemilang dan dinikmati dengan sukacita dalam beberapa tahun disana.
Bak kata pepatah, setinggi – tinggi bangau terbang, kembali ke kubangan juga. Entah karena rindu dengan pliek U atau kuwah beulangong, makanan kahs Aceh, tahun 2013 Tarmizi Alhagu kembali ke pangkuan keluarganya di Banda Aceh.
Berbekal pengalaman melumpur di dunia kewartawanan selama di ibu kota Jakarta, Tarmizi Alhagu pun mendirikan tabloid Minggun dan media online, namanya Tabloid Moslem dan harianmoslem.net di kota Banda Aceh. Dan masih tetap eksis sampai sekarang.
Tulisan Tarmizi Alhagu yang renyah, gurih dan enak dibaca, memberikan wawasan baru baik mendapat informasi dan juga keritikan maupun hiburan dan pengetahuan.
Mudah anda simak di dua media ini. Tarmizi tetap setia idealis dengan profesinya, juga tak segan mengeritik pemerintah kota, seperti parkir kenderaan di atas jembatan Peunayong Banda Aceh juga mewarnai laman berita harian moslem.net. ( * )