Tak terasa Museum Aceh kini sudah berusia 108 tahun. Museum yang didirikan pada sejak 31 Juli 1915 pada masa pemerintahan Hindia Belanda yang pemakaiannya saat itu diresmikan oleh Gubernur Sipil dan Militer Aceh, Jenderal H.N.A. Swart.
Dalam rangka memperingati ulang tahun Museum Aceh yang ke-108, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) provinsi Aceh melalui melalui UPTD Museum Aceh mengadakan beragam kegiatan yang bersifat edukasi. Event ini berlangsung selama dua hari mulai 30-31 Juli 2023 dan diselenggarakan di Museum Aceh, Banda Aceh.
Berikut sejarah awal mula kisah sebelum berdirinya rumah tradisional Aceh (Rumoh Aceh). Bangunan (Rumoh Aceh) tersebut berasal dari Paviliun Aceh yang ditempatkan di arena Pameran Kolonial (De Koloniale Tentoonsteling) di kota Semarang pada tanggal 13 Agustus – 15 November 1914. Pada waktu penyelenggaraan pameran di Semarang, Paviliun Aceh memamerkan koleksi-koleksi yang sebagian besar adalah milik pribadi F.W. Stammeshaus, yang pada tahun 1915 menjadi Kurator Museum Aceh pertama. Selain koleksi milik Stammeshaus, juga dipamerkan koleksi-koleksi berupa benda-benda pusaka dari pembesar Aceh, sehingga dengan demikian Paviliun Aceh merupakan Paviliun yang paling lengkap koleksinya.
Pada pameran itu Paviliun Aceh berhasil memperoleh 4 medali emas, 11 perak, 3 perunggu, dan piagam penghargaan sebagai Paviliun terbaik. Karena keberhasilan tersebut Stammeshaus mengusulkan kepada Gubernur Aceh agar Paviliun tersebut dibawa kembali ke Aceh dan dijadikan sebuah Museum. Ide ini diterima oleh Gubernur Aceh Swart. Atas prakarsa Stammeshaus, Paviliun Aceh itu dikembalikan ke Aceh, dan pada tanggal 31 Juli 1915 diresmikan sebagai Aceh Museum, yang berlokasi di sebelah Timur Blang Padang di Kutaraja (Banda Aceh sekarang). Museum ini berada di bawah tanggungjawab penguasa sipil dan militer Aceh F.W. Stammeshaus sebagai kurator pertama.
Setelah Indonesia Merdeka, Museum Aceh menjadi milik Pemerintah Daerah Aceh yang pengelolaannya diserahkan kepada Pemerintah Daerah Tk. II Banda Aceh. Pada tahun 1969 atas prakarsa T. Hamzah Bendahara, Museum Aceh dipindahkan dari tempatnya yang lama (Blang Padang) ke tempatnya yang sekarang ini, di Jalan Sultan Alaidin Mahmudsyah pada tanah seluas 10.800 m2 yang dikelola oleh Badan Pembina Rumpun Iskandar Muda (BAPERIS) pusat.
Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, tanggal 28 Mei 1979, nomor 093/0/1979 terhitung mulai tanggal 28 Mei 1979 statusnya telah menjadi Museum Negeri Aceh. Peresmiannya baru dapat dilaksanakan setahun kemudian atau tepatnya pada tanggal 1 September 1980 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dr. Daoed Yoesoef. Sesuai peraturan pemerintah nomor 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai Daerah Otonomi pasal 3 ayat 5 butir 10 f, maka kewenangan penyelenggaraan Museum Negeri Provinsi Daerah Istimewa Aceh berada di bawah Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (kini Provinsi Aceh).
Untuk memperingati ulang tahun Museum Aceh yang ke-108 tahun, UPTD menggelar beberapa ragam kegiatan yang dapat menambah pengetahuan. Kegiatan-kegiatan tersebut seperti lokakarya, kompetisi sejarah, nonton bareng, dan eksplorasi museum saat malam hari.
Pada hari pertama, minggu (30/7/2023) acara dibuka dengan penampilan tari kreasi “Peunulang Raja” yang kemudian disusul oleh kegiatan Lokakarya Worksop Sketsa yang dipandu oleh Amri Satria selaku ketua komunitas KOSKAH beserta anggota. Kegiatan ini diikuti oleh kaula muda Aceh yang sangat antusias ingin mempelajari dan memperdalam ilmu persketsaan.
Amri Satria yang merupakan alumni jurusan Arsitektur Universitas Syiah Kuala dengan semangatnya membimbing para peserta. Amri mulanya menjelaskan makna sketsa itu sendiri, cara memilih alat gambar, menjelaskan tentang teknik sketsa, dan lain-lain.
Setelah itu, para peserta dilatih untuk mulai mencoba mensketsakan beberapa bentuk sederhana yang berdasarkan penjelasan yang diterangkan oleh Amri dalam bentuk berkelompok. Kemudian, setelah menggambar sketsa tersebut, peserta berikutnya dilatih menggambar beberapa sudut Rumoh Aceh. Peserta juga dibimbing oleh anggota KOSKAH lainnya agar lebih terarah.
Dan terakhir sesi pembagian hadiah, sertifikat, dan plakat untuk peserta yang menggambar sketsa yang diserahkan secara simbolis oleh Amri Satria. Di susul pemberian sertifikat dan plakat oleh Nur Hasanah selaku Kasubbag Tata Usaha Museum Aceh kepada KOSKAH, selaku komunitas yang ikut berpartisisipasi dalam peringatan 108 tahun Museum Aceh.
Setelah kegiatan Lokakarya Sketsa usai, agenda berikutnya adalah Kompetisi Sejarah. Kompetisi ini diikuti oleh sembilan kelompok vocal group nasyid. Kesembilan kelompok vocal group ini membawakan dua buah lagu yakni satu lagu daerah dan satu lagu islami.
Vocal grup yang ikut berpartisipasi dalam agenda Kompetisi Sejarah ini yakni Suara Atjeh, Sas Acapella, Ghajaz Voice, Sajaz Voice, Jeumala Voice, Sanggar Seni Seulaweut, Meuligoe Voice, Almuridha Nasyid, dan Al-Khamz, yang merupakan satu-satunya vocal group wanita dikompetisi ini.
Setiap grup satu persatu memberikan penampilan terbaik mereka dihadapan para juri dan pengunjung yang hadir di peringatan 108 tahun Museum Aceh. Sorak sorai dan tepuk tangan terus terdengar nyaring setelah penampilan dari grup-grup yang tampil selesai.
Kemudian setelah seluruh grup tampil, para dewan juri yakni M. Arief Azizi, Mirajuddin Anhar, dan Hafizh Aminullah berembuk untuk menentukan grup-grup yang akan mendapatkan hadiah dan penghargaan.
Penyerahan hadiah, sertifikat, dan plakat kepada para juara Kompetisi Sejarah juga diberikan oleh Nur Hasanah selaku Kasubbag Tata Usaha Museum Aceh.
Tak hanya sampai disitu, malam harinya ada agenda nonton bareng dan eksplorasi museum di Museum Aceh. Film-film yang diputarkan yakni berjudul Surat Kaleng 1949 dan Tanpa Batas Waktu. (Redaksi)