Wisata  

Tradisi “Seumuleung” Ritual Pengukuhan Raja Daya Lamno, Kabupaten Aceh Jaya

Indonesia dengan letak geografisnya yang berada di jalur garis khatulistiwa dan salah satu negara tropis di dunia, tak ayal negara ini memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah sejak dari jaman dahulu mulai dari tanahnya yang subur yang menghasilkan rempah-rempah berkualitas, kekayaan baharinya, hasil tambang, hingga destinasi wisatanya.

Kekayaan inilah yang menggoda para wisatawan baik nusantara maupun mancanegara untuk berpergian mengunjungi tiap-tiap wilayah di Indonesia untuk berlibur dan belajar tentang Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2022 kunjungan wisatawan nusantara meningkat 19,82% yakni sebanyak 734,86 juta dan kunjungan wisatawan dari mancanegara juga mengalami peningkatan 251,28% yakni sebanyak 5,47 juta kunjungan.

Selain kekayaan alam, Indonesia juga kaya akan bahasa dan tradisi. Negara yang memiliki 38 provinsi ini memiliki lebih dari 700 penutur Bahasa daerah dan tradisinya masing-masing mulai dari Aceh hingga Papua Selatan.

Bahasa daerah dengan penutur terbanyak di Indonesia adalah Bahasa Jawa yang memiliki jumlah penuturnya sebanyak 68,200 juta orang menurut data yang dipublikasikan oleh Ethnologue pada tahun 2015. Selain kekayaan bahasa, Indonesia juga memiliki tradisi-tradisi tradisional yang unik yang terus menerus dilestarikan sampai saat ini oleh masyarakat lokal. Salah satu tradisi yang masih dipertahankan oleh masyarakat lokal yakni tradisi Seumuleung yang berasal dari kabupaten Aceh Jaya, provinsi Aceh.

Tradisi Seumuleung adalah sebuah prosesi adat yang dilakukan setiap tahun untuk memperingati hari pelantikan simbol peneguhan atau penabalan raja Sultan Alaidin Riayat Syah menjadi raja pada Kerajaan Daya. Tradisi ini diketahui sudah ada sejak tahun 1430 masehi dan kini sudah mencapai 5 abad lamanya. Sampai saat ini (1/7/2023) tradisi Seumuleung masih berlangsung dan dipercaya dapat membawa keberkahan rejeki dan kesehatan untuk tahun yang akan datang.

Dalam Bahasa Indonesia kata Seumuleung berarti menyuapi. Tradisi menyuapi sebuah hidangan yang ada di dalam sebuah dalong khas kerajaan kepada sang penerus atau keturunan sebagai putra mahkota pewaris Meureuhom Daya. Tradisi ini dilaksanakan setiap hari pertama dan ketiga hari raya Idul Adha. Pada hari pertama Idul Adha, Seumuleung dilaksanakan dengan hanya dihadiri anggota kerajaan saja, sedangkan pada hari ketiga tradisi ini dilaksanakan dengan dihadiri oleh keturunan raja dari seluruh kabupaten di Aceh, seperti Tamiang, Peureulak, Pasai, Samalanga, Meureudu, Teunom, Meulaboh dan lainnya serta juga dihadiri tamu dari pemerintah kabupaten Aceh Jaya dan perwakilan dari Wali Nanggroe.

Pemangku Raja Daya Ke-13 Teuku Saifullah.

Berikut ini merupakan sejarah singkat kerajaan Poe Teumeurehom. Sultan Salatin Alaidin Riayat Syah atau yang dikenal Poe Teumeureuhom Daya Bin Sultan Inayat Syah Bin Radja Abdullah Almalikul Mubin merupakan pendiri kerajaan Islam Negeri Daya pada tahun 1480 masehi. Pusat pemerintahan kerajaan ini berada di Lamkuta dan Kuta Dalam. Sultan Salatin Alaidin Riayat Syah wafat pada tahun 906 Hijriah dan dimakamkan di puncak Glee Kandang, desa Glee Joeng, kemukiman Kuala Daya, kecamatan Jaya, Nanggroe Aceh Darussalam.

Kemudian berdasarkan rekam jejak sejarah, pada abad kejayaan Negeri Daya yang terkenal akan komoditas lada banyak pedagang dari eropa datang melirik ke Negeri Daya ini salah satunya berasal dari negara Portugis. Saat itu, Negeri Daya dan Portugis menjalin kerjasama dagang dengan Portugis dan berinteraksi dengan masyarakat lokal. Oleh sebab itu, tak sedikit pedagang portugis menikah dengan penduduk Negeri Daya.

Sayangnya pernah terjadi huru hara yang berkepanjangan hingga sampai ratusan tahun karena penguasa saat itu tidak memperdulikan masyarakat dan memerintah sesuka hatinya. Saat itu perkebunan lada yang menjadi komoditas utama perdagangan serta sebagai mata pencaharian penduduk setempat menjadi tidak terurus. Untuk menyelesaikan masalah ini, Sultan Aceh yang berkedudukan di Bandar Aceh Darussalam yang kini bernama Banda Aceh, yakni Sultan Jamalul Alam Badrul Munir terpaksa datang ke Negeri Daya. Sultan berusaha mendamaikan pertikaian antara penduduk serta raja-raja kecil yang saling berbenturan di wilayah Daya.

Setelah Sultan berhasil mempersatukan penduduk dan para raja, kemudia Sultan Jamalul Alam Badrul Munir menetapkan bahwa setiap tanggal 10 Dzulhijjah seluruh masyarakat penduduk diwajibkan untuk berkumpul bertatap muka dan saling bersilaturrahmi di kaki bukit Glee Kandang di bawah komplek makam mantan penguasa negeri mereka terdahulu.

Penetapan itu diselenggarakan atau dikukuhkan dengan semacam ritual upacara negara yang wajib dilaksanakan secara khidmat dan penuh rasa kebersamaan. Ritual upacara itu dinamakan dengan sebutan Seumuleung.

Melalui upacara adat ini mengungkapkan bagaimana gelar jabatan dilingkungan istana Negeri Daya ketika Sultan Salatin Alaidin Riayat Syah dan dua anaknya berkuasa. Para personel kerajaan itu terdiri atas seorang Al-Hakimi atau hakim agung. Tradisi ini dilaksanakan tepatnya di Astaka Di Raja Poe Teumeureuhom.

Itulah sejarah singkat tradisi Seumuleung yang berlangsung dari tahun ke tahun di Lamno, kabupaten Aceh Jaya.

Astaka Raja Poteumeureuhom

Jika tertarik untuk melihat langsung tradisi adat ini, wisatawan harus menempuh perjalanan sejauh 74 kilometer dari kota Calang atau 81 kilometer dari kota Banda Aceh. Dari kota Calang menuju lokasi Komplek Makam Sultan Salatin Alaidin Riayat Syah memakan waktu sekiranya satu jam saja, sedangkan dari kota Banda Aceh sekiranya 1 jam 48 menit dengan mengendarai kendaraan.

Dalam perjalanan menuju lokasi makam, wisatawan akan dimanjakan dengan pemandangan yang indah di sepanjang perjalanan. Jalan lintas daerah yang luas akan membuat perjalanan anda semakin mudah. Walaupun begitu, anda tetap harus berhati-hati saat mengendarai kendaraan serta mentaati rambu-rambu lalu lintas, karena ada ternak warga berkeliaran dijalanan.

Ketika anda sudah memasuki gerbang pertama yang berdekatan dengan jembatan Lambeuso, jalan sudah mulai mengecil dan beraspal, namun bisa dilewati dua mobil meskipun harus tetap melaju dengan perlahan. Kemudian, ada dua jalur menuju ke lokasi yakni pertama melalui Dayah Budi dan kedua SMPN 1 Indra Jaya. Kedua jalur tersebut membawa anda menuju ke gerbang kedua yang bertuliskan “Saleum Teuka Di Komplek Makam Po Teumeureuhom” yang bersebelahan dengan masjid Jamik Meureuhom, kemukiman Kuala Daya.

Jalan menuju komplek sudah diaspal sampai ke area makam, jadi wisatawan tidak perlu risau. Ketika sudah sampai ke lokasi, di area bawah makam anda akan melihat lautan samudera Hindia yang indah dan anda juga bisa menikmatinya dari atas bukit.

Fasilitas-fasilitas yang tersedia di area komplek ini terbilang lengkap. Mulai dari Mushalla yang berada di area makam di atas bukit, toilet umum, parkir yang luas, dan warung-warung UMKM masyarakat yang menyediakan berbagai macam makanan dan minuman sembari menikmati indahnya lautan.

Namun, ada hal yang harus anda perhatikan ketika berkunjung ke area makam saat hari-hari besar seperti hari raya Idul Adha khusunya pada saat tradisi Seumuleung diselenggarakan. Pada saat itu, wisatawan diharuskan untuk memarkirkan kendaraannya di area masjid Jamik Meureuhom dan anda harus berjalan kaki menuju lokasi makam sejauh 850 meter. Karena biasanya di area dalam ini sudah dipadati oleh para pedagang UMKM milik penduduk setempat dan wisatawan yang datang. Jadi untuk mengurai kemacetan, wisatawan harus berjalan kaki.

Kemudian, jika wisatawan ingin mengunjungi makam yang berada di atas bukit. Wisatawan harus mematuhi aturan-aturan atau maklumat yang sudah disepakati yakni:

  1. Diwajibkan untuk berpakaian Muslim/muslimah
  2. Dilarang untuk berfoto-foto di dalam areal makam
  3. Dilarang mengambil bebatuan di atas makam
  4. Dilarang bersuara keras di dalam areal makam
  5. Dilarang merokok
  6. Dilarang masuk untuk wanita yang berhalangan. (Redaksi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *